Oleh: Pdt Albert H Purba
Apa itu Teologi Sermon?Pada suatu hari, dalam suatu perjalanan menuju ke tempat pelayanan yang relatif jauh, saya terlibat dalam suatu percakapan panjang seputar kehidupan bergereja, hidup beriman dan pemahaman akan Alkitab dengan seorang “syamas muda” pemilik mobil sekaligus driver yang menjemput saya, dan juga seorang “sintua senior” yang bersama kami dalam satu rombongan. Kedua parhorja ini baru saya kenal. Perbincangan begitu asyik dan penuh diskusi. Uniknya, sang “sintua senior” tidak hanya bercerita tentang pengalaman pelayanannya yang sudah melebihi tiga dekade di GKPS, tetapi juga banyak bertanya kepada saya selaku pendeta meskipun jujur saya merasa masih terlalu “yunior” dalam korps pelayan di GKPS. Di akhir suatu penjelasan saya atas pertanyaan-pertanyaan mereka, sang “sintua senior” berkata, “Tarima kasih ma pandita bani hatoranganmu ai, tambah ma use pangarusion nami. Hanami sintua-syamas on kan porlu do tong ope marlajar. Naha ma, pambotohnami kan sebatas ‘teologi sermon’ do.”
Sejenak saya tercenung mendengar kalimat “teologi sermon”. Maka saya segera bertanya kepada mereka, “apa itu teologi sermon?” Dari penjelasan sintua itu saya memahami bahwa “teologi sermon” adalah pengetahuan dan pemahaman tentang kekristenan, hidup bergereja, hidup beriman dan khususnya pengetahuan akan Alkitab yang mereka (sintua dan syamas) peroleh melalui kegiatan sermon parhorja ni kuria setiap minggunya. Sepintas saya tersadar bahwa kegiatan sermon sudah berfungsi sebagai “sekolah teologi” bagi parhorja, di mana yang menjadi “staf pengajar” adalah pendeta atau penginjil, khususnya pendeta resort/jemaat yang bertugas (dan bertanggungjawab) di resort yang bersangkutan.
Karakteristik Teologi Sermon
Berpijak dari pemahaman sermon parhorja sebagai “sekolah teologi” bagi pelayan sintua dan syamas di GKPS, maka corak teologi yang diterima mereka adalah warisan dari teologi yang dimiliki oleh petugas penuh waktu (singkatnya: pendeta) yang bertugas di tempat itu. Artinya peran pendeta selaku “dosen teologi” bagi sintua dan syamas sangat menentukan dalam hidup berteologi kaum pelayan “part-time” ini. Umumnya hingga saat ini para pendeta GKS memiliki teologi dari sekolah-sekolah yang didukung oleh gereja-gereja mainstream (gereja-gereja arus utama) atau yang lebih dikenal dengan istilah gereja-gereja tradisional untuk membedakannya dari gereja-gereja injili (seperti Reformed) dan gereja-gereja pentakostalis/kharismatik (seperti Bethel). Biasanya gereja-gereja mainstream di Indonesia menganut teologi pietesme, yang menekankan kesalehan, hidup beribadah dan bergereja. Gereja kita juga mengenal dan “mengaku” sebagai aliran Lutheran, yakni berupa ajaran-ajaran yang berasal dari tokoh reformator gereja Martin Luther. Namun sekarang ini, dengan bergulirnya perkembangan teologi di dunia dan di Indonesia, para pendeta juga dituntut untuk semakin banyak belajar teologi.
Bergulirnya pemahaman teologi yang berkembang yang dipelajari para pendeta, itu juga mengalir ke dalam “teologi sermon”. Jadi umumnya karakteristik teologi sermon adalah teologi yang imemehkon pendeta kepada parhorja i kuria in. Mengingat adanya proses mutasi atau pergantian tugas dikalangan pendeta dalam satu resort/jemaat, bisa juga berdampak pada munculnya warna-warni teologi (karena pola pendeta-centered tadi) dalam pemahaman sintua dan syamas di GKPS. Namun, apakah warna-warni teologi yang dibawa setiap pendeta yang bertugas itu perlu diperdebatkan atau diributkan? Tentunya tidak. Dituntut pemahaman yang positif dari sintua dan syamas bahwa warna-warni teologi itu bukan untuk diributkan atau untuk dipilih mana yang baik. Sebaliknya, warna-warni teologi itu akan memperkaya wawasan berteologi “kaum awam” dalam kehidupan beriman.
Kalau begitu, apakah makna berteologi itu?
Sederhananya Teologi atau Theologia adalah suatu kata yang berasal dari kata teos dan logos. Teos artinya Tuhan, logos artinya ilmu. Jadi teologi atau theologia adalah ilmu atau pemahaman tentang Tuhan yang ilahi. Namun ber-teologi tidaklah sesederhana dalam arti proses mengenal Tuhan secara ilmu. Berteologi adalah suatu kegiatan berefleksi (secara sistematis dan teoritis) orang percaya atas pegalaman imannya. Berteologi adalah suatu kegiatan orang percaya bersama dengan sesama orang beriman di dalam gereja Tuhan yang universal untuk (terus) bergumul dengan Firman Tuhan dan merefleksikannya dalam kehidupan nyata sehari-hari, atau sebaliknya merfleksikan secara teologis kehidupan praktis dengan kebenaran Firman Tuhan. Berteologi tidak sekedar membaca dan mengetahui kebenaran Firman Tuhan, tetapi harus merefleksikan kebenaran itu dalam hidup beriman kepada Allah dalam kehidupan nyata. Berteologi adalah cara orang beriman menjelaskan arti imannya dalam kaitan kenyataan hidup di mana dia berada (kontekstual). Sederhananya, dengan semakin banyak “teologi sermon” yang dimiliki para sintua dan syamas, maka semakin diperkaya untuk merefleksikan pengalaman imannya (goluh na marTuhankon Jesus Kristus) dalam setiap aspek kehidupannya. Dengan berteologi (sermon) diharapkan kita semakin mengenal Tuhan, semakin melihat perbuatan-perbuatan besar (the great things) dari Allah untuk keselamatan manusia. Dalam hidup ini, kita terus berefleksi akan pengalaman iman kita. Jadi kegiatan berteologi adalah kegiatan sepanjang hidup kita. Hidup adalah berteologi.
Berteologi dalam hidup
Jikalau satu tahun rata-rata seorang parhorja mengikuti sermon parhorja 40 kali dengan bobot 1,5 - 2 jam atau istilah mahasiswa 2 SKS, bukankah seorang parhorja yang dengan masa tugas di atas 20 tahun layak menyandang gelar “sarjana teologi sermon” (yag biasanya seorang sarjana teologi atau STh dari sebuah STT harus mengikuti lebih kurang 150 SKS) dari “Sekolah Teologi Sermon” (STS) tersebut? Terlepas dari kita setuju atau tidak, namun hal yang terpenting bukanlah gelarnya, tetapi bagaimana “teologi sermon” itu menjadi bagian dalam kehidupan seorang parhorja. Sepanjang hidup seorang parhorja harus berteologi. Bergumul bersama dan di dalam Tuhan untuk mengerti arti kehidupan dan karya keselamatan Tuhan bagi diri sendiri, bagi keluarga, bagi gereja, bagi masyarakat dan dunia ini. Tentu “teologi sermon” (yang sudah begitu banyak SKS-nya di dapat) itu akan menjadi modal yang cukup (efektif) untuk menjadikan parhorja-parhorja kuria yang handal di GKPS ini.
Parhorja (sintua dan syamas) selaku teolog awam dan pelayan handal di GKPS
Dari segi organisasi, tentu para sintua dan syamas menjadi aset sumber daya pelayan (parhorja) yang cukup luar biasa bagi GKPS. Coba kita renungkan, di GKPS yang lebih kurang terdiri atas 200-an ribu orang warga jemaat dengan 600-an buah jemaat dilayani hanya oleh lebih kurang 200 pendeta dan 80 penginjil GKPS. Cukup dan effektifkkah itu? Tentu jawabannya tidak. Bukankah parhorja sintua-syamas yang jumlahnya 12 ribu-an di GKPS ini akan menjadi ujung tombak pelayanan gereja di GKPS yang kita cintai dan syukuri ini?
Alangkah luar biasa hasilnya jika semua parhorja (pendeta, penginjil, sintua dan syamas) di GKPS ini bekerja (melayani) dengan baik, berteologi dengan baik, bukankah kuantitas dan kualitas gereja GKPS semakin bertumbuh dan berkembang semakin baik? Mari kira renungkan dan jalankan bersama.
Pesan Penutup
Akhirnya, Sermon (mar-sermon) adalah salah satu wadah “pendidikan teologi” bagi parhorja di GKPS. Ase, ringgas, rajin ma ham marsikolah bapa pakon inang hasoman parhorja kuria (sintua pakon syamas) i GKPS on. Supaya kita semakin diperlengkapi untuk mengerjakan tugas pelayanan ini. Supaya “teologi sermon” itu menjadi bagian dari hidup kita untuk terus bertumbuh di dalam Tuhan. Eta, ringgas ma hita marsermon. Porluhon janah pongkuthon hita ma ai tene. Horas.
0 komentar