Tidak banyak orang yang mampu memutuskan secara benar menghadapi masa depannya. Bahkan semua orang pernah menghadapi kesalahan dan kegagalan dalam memutuskan sesuatu. Tidak ada yang salah dalam hal itu. Kita bukanlah mahluk yang sempurna. Tetapi bagaimana pun, setiap orang bisa dan mampu untuk menghadapi hidupnya sendiri.
Mampu menghadapi kenyataan yang telah dan sedang terjadi. Dan tidak melarikan diri dari kenyataan hidupnya. Sebab penderitaan adalah milik semua orang yang hidup. Hanya dalam keberanian menghadapi dan menerima segalanya secara apa adanya sajalah kita bisa berdiri tegak dan mengangkat nilai kita sebagai seorang manusia. Bukankah di depan Tuhan, Sang Pencipta, kita semua memiliki nilai yang sama? Hanya, tentu saja, talenta yang diberikan kepada kita dapat berbeda-beda. Maka kemampuan kita dalam mempergunakan talenta itu saja yang akan dimintakan pertanggung-jawabanNYA kelak. Maka nilai seseorang manusia ditentukan oleh dirinya sendiri, bukan oleh orang lain. Dan tak seorangpun punya hak untuk memberikan nilai kecuali Dia yang menyayangi kita.
Sebab bukankah Yesus sendiri telah memberikan teladan yang menarik dalam menentukan nilai hidup ini? Yesus, yang sesungguhnya menurut pandangan manusia, telah gagal karena dijadikan terdakwa, divonis mati dan dengan tubuh yang nyaris telanjang, tergantung di atas kayu salibNya. Siapakah yang bisa menilai bahwa Dia telah berhasil melihat kenyataan yang pahit itu? Kalah dan tewas dalam usia yang masih teramat muda, sebagai terhukum pula. Bagaimanakah kita mampu menilai diri seorang manusia Yesus selain dari kekalahan dan kegagalan. Tidakkah tragis? Dia, yang Sang Putera yang amat disayangi dari Bapa yang Maha Kuasa, saat itu nampak memilukan. Lemah, tidak berdaya dan bahkan dengan sedih berseru: “Eloi, Eloi, lama sabakhtani” (Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?). Betapa pahitnya hidup ini. Betapa tidak bernilainya harapan itu, karena pada akhirnya, tak ada yang sanggup membantuNya untuk tetap hidup. Yesus telah gagal. Dan mati dengan hina. Hina.
Tetapi, ah tidak! Ternyata kekalahan, kegagalan dan ketidak-berartian itu tidak berarti bahwa kita sungguh-sungguh telah kalah. Karena dalam kekalahan dalam menghadapi realitas itulah sesungguhnya yang telah memenangkan ke-Tuhan-an Kristus. Dia telah kalah di tangan manusia. Dia takluk di dalam dunia realitas. Tetapi justru karena itu, Dia bangkit dan hidup di dunia ke-Agung-an Bapa. Maka sahabatku, menilai seorang manusia janganlah dari sudut pandang manusia pula. Marilah kita menilai diri sendiri dengan lebih obyektip. Lebih utuh. Dengan berjuang menerima, menghadapi dan mengubah apa yang telah dan sedang kau alami saat inilah sesungguhnya terletak esensi hidupmu. Bahkan pun, jika kelak kau sungguh kalah, itu hanyalah penilaian dari dunia manusia yang penuh dengan kesalahan. Penilaian dari Tuhan akan lain. Akan lain sama sekali. Yakinlah.
Gerimis memasuki senja. Di luar, beberapa lampu mulai menerangi jalan yang basah. Pantulannya membiaskan warna-warni yang cemerlang dalam suasana yang mulai kelam. Tak ada sesuatu yang bergerak lagi di luar. Tak ada lagi kumpulan burung gereja yang tadi nampak. Angin pun diam. Dahan, ranting dan dedaunan cemara diam. Segalanya tenang. Dengan perlahan dia berbalik menghadapiku. Dengan seulas senyum tipis, dia berkata, Tuhan memberkatiku. Tuhan memberkati dunia ini. Tuhan memberkati segala-galanya. Dia membuat segalanya indah pada waktunya. Ya, segalanya indah pada waktunya. Bukankah begitu…? Pdk. Renungan
0 komentar