Saat ini terdengar lantunan Jingle Bell Rock dari si anak ajaib Connie Talbot. Juga segelas kopi menunggu panasnya berkurang untuk dapat diminum. Ah, kiranya natal sudah semakin dekat. Natal yang selalu membawa haru biru di hati. Melekatkan lagi semua peristiwa demi peristiwa yang pernah terjadi pada diri ini. Seperti sedang merekatkan kepingan-kepingan puzzle yang berserakan di lantai. Mengingat-ingat letak demi letak, sudut demi sudut.
Ketika orang-orang lain merayakan natal dengan penuh keceriaan, tak tau kenapa aku selalu merasa sedih. Bukan sedih karena kesendirian ataupun kesepian. Buatku natal seperti mengingatkanku pada diri sendiri. Waktu yang benar-benar tepat untuk bercermin dan merefleksikan kejadian-kejadian yang pernah dialami. Baik diperbuat dengan sengaja ataupun dibawa oleh sebuah kebetulan.
Saat natal aku selalu melihat lagi, tahun ini sudah berbuat apa saja. Sudahkah melakukan yang baik? Sudahkan menjadi lebih berarti bagi orang lain? Atau tahun ini sama saja dengan tahun-tahun sebelumnya? Tidak bertambah baik atau bahkan bertambah buruk?
Saat natal aku selalu berhitung dengan Tuhan. Berkat apa yang telah Dia berikan tahun ini kepadaku? Apakah sudah kusyukuri semua berkatnya? Apakah sudah kujalankan semuanya demi namaNya? Atau aku malah telah menyakiti hati kudusNya? Mengotori mulutku dengan menyebut namaNya secara tidak pantas?
Natal adalah sebuah cermin. Di mana aku bisa melihat gambaran diriku lagi secara utuh. Tidak terpotong-potong oleh amarah ataupun keragu-raguan. Di mana saatnya merangkum semua berkat dan menaruhnya di album pujian dan syukur. Di mana dosa dan kesalahan terkubur dalam sakramen tobat. Di mana kelegaan hati menjadi begitu lapang karena dimaafkan kembali.
Natal adalah sebuah teropong. Di mana aku bisa melihat gambaran tempat nanti kumenepi. Di mana arah dan tujuan kembali disusun. Menentukan satu tahun ke depan dengan segala rencana-rencana muluk. Yang mungkin saja akan terlupakan hilang bersama usainya musim penghujan. Di mana harapan terbentang luas kembali. Setelah tampaknya apa yang dicita-citakan tahun ini belum berhasil.
Ah, natal memang mencampurkan sejuta perasaan di hati... Hati yang percaya, yang rindu akan belai kasihNya. Hati si anak hilang yang kemudian lahir kembali...
Ketika orang-orang lain merayakan natal dengan penuh keceriaan, tak tau kenapa aku selalu merasa sedih. Bukan sedih karena kesendirian ataupun kesepian. Buatku natal seperti mengingatkanku pada diri sendiri. Waktu yang benar-benar tepat untuk bercermin dan merefleksikan kejadian-kejadian yang pernah dialami. Baik diperbuat dengan sengaja ataupun dibawa oleh sebuah kebetulan.
Saat natal aku selalu melihat lagi, tahun ini sudah berbuat apa saja. Sudahkah melakukan yang baik? Sudahkan menjadi lebih berarti bagi orang lain? Atau tahun ini sama saja dengan tahun-tahun sebelumnya? Tidak bertambah baik atau bahkan bertambah buruk?
Saat natal aku selalu berhitung dengan Tuhan. Berkat apa yang telah Dia berikan tahun ini kepadaku? Apakah sudah kusyukuri semua berkatnya? Apakah sudah kujalankan semuanya demi namaNya? Atau aku malah telah menyakiti hati kudusNya? Mengotori mulutku dengan menyebut namaNya secara tidak pantas?
Natal adalah sebuah cermin. Di mana aku bisa melihat gambaran diriku lagi secara utuh. Tidak terpotong-potong oleh amarah ataupun keragu-raguan. Di mana saatnya merangkum semua berkat dan menaruhnya di album pujian dan syukur. Di mana dosa dan kesalahan terkubur dalam sakramen tobat. Di mana kelegaan hati menjadi begitu lapang karena dimaafkan kembali.
Natal adalah sebuah teropong. Di mana aku bisa melihat gambaran tempat nanti kumenepi. Di mana arah dan tujuan kembali disusun. Menentukan satu tahun ke depan dengan segala rencana-rencana muluk. Yang mungkin saja akan terlupakan hilang bersama usainya musim penghujan. Di mana harapan terbentang luas kembali. Setelah tampaknya apa yang dicita-citakan tahun ini belum berhasil.
Ah, natal memang mencampurkan sejuta perasaan di hati... Hati yang percaya, yang rindu akan belai kasihNya. Hati si anak hilang yang kemudian lahir kembali...
0 komentar