Bulan September ini adalah masa-masa kita merayakan 106 tahun Injil di Simalungun, sebuah peristiwa penting 2 September 1903, saat August Theis menyampaikan khotbah pertama dari kitab Yohannes 4:35 di bumi Simalungun, persisnya di Pematangraya. Berita kesukaan dan damai itulah yang kemudian hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Simalungun. Babtisan pertama pada 1909, disusul berdirinya jemaat-jemaat sebagai wadah persekutuan, kesaksian dan pelayaanan, adalah panenan dari semaian Injil tersebut.
Fakta sejarah menunjukkan, bahwa banyak orang Simalungun kemudian berperan dalam meluaskan berita damai dan kesukaan itu. Mendirikan Kongsi Laita, bersaksi dari rumah ke rumah, meterjemahkan buku-buku atau Bibel ke dalam bahasa Simalungun. Bahkan untuk membiayai kegiatan mereka dibentuk Fonds Saksi Kristus. Bahkan Firman itu tidak berhenti di lokasi tertentu, tetapi menyebar ke seluruh wilayah Simalungun.
Kehadiran Injil tidak hanya membuka mata orang Simalungun tentang arti Tuhan dalam kehidupannya, tetapi juga menumbuhkan kesadaran pentingnya ilmu pengetahuan. Hal yang memberinya bekal pemahaman pengelolaan alam dan lingkungannya bagi kehidupan sehari-hari, serta pengaturan hubungannya dengan sesama manusia. Bisa kita baca berbagai literatur bagaimana pada awalnya berbagai sekolah yang berdiri dan sekaligus sebagai tempat-tempat kebaktian. .
Berita damai dan kesukaan dan pengetahuan yang mereka peroleh merubah cara pikir dan kehidupan orang Simalungun : keluar dari cara berfikir kuno, dari kehidupan ”hadatuon” menjadi hidup yang ”percaya kepada Kristus”, dari pendewaaan benda, atau manusia, berubah menjadi masyarakat yang percaya bahwa Tuhanlah yang berkuasa atas hidupnya. dari penyelesaian masalah kehidupan dengan ”perang” berubah dengan pendekatan damai, dari masyarakat buta huruf menjadi masyarakat yang tau baca, dari masyarakat kuno yang statis menjadi berfikiran modern, dinamis dan ingin terus berubah ke arah kehidupan yang lebih baik. Dari keinginan saling membenci, bahkan ”perang” sebagai sebuah solusi, berubah menjadi masyarakat yang saling mengasihi sesamanya bahkan mahluk hidup di sekitarnya.
Secara kelembagaan gereja, lima puluh tahun kemudian, telah memampukan para tokoh-tokoh Simalungun memimpin wilayah Simalungun dalam penyebaran Firman sekaligus memimpin lembaga-lembaga yang ada di bawahnya dengan cara-cara yang berlandaskan kasih dan cinta damai.
Sebuah proses yang berlangsung damai dan penuh kasih. Kemudian terbentuk sebuah Distrik pada 26 September 1940 dan HKBPS (Huria Kristen Batak Protestan Simalungun) pada 5 Oktober 1952, dibawah seorang pemimpin rohani Pendeta Pendeta. J Wismar Saragih—pendeta pertama orang Simalungun, yang menjadi Praeses/Wakil Ephorus HKBPS. Akhirnya, HKBPS manjae menjadi Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) pada 1 September 1963.
GKPS memiliki Ephorus dan mandiri, terlepas dari HKBP. Sejak itu, para pemimpin GKPS mulai dari J Wismar Saragih (1952-1960), Pdt A Wilmar Saragih (1960-1962), Pdt JP Siboro (1962-1970), Pdt Lesman Purba (1970-1972), Pdt Samuel P Dasuha (1972-1977), Pdt Armencius Munthe (1977-1990), Pdt Jansiman Damanik (1990-2000), Pdt Edison Munthe (2000-2005) dan kini Pdt Belman P. Dasuha (2005-2010). Mereka didampingi sekjen seperti Pdt Hamonangan Girsang, Pdt Sahala Girsang dan Rumanja Purba, dan pernah ada tiga sekjen yang kemudian menjadi Ephorus, yakni Pdt A.Wilmar Saragih, Pdt Lesman Purba dan Pdt Armencius Munthe. Tanpa mengabaikan nama-nama lain yang perannya juga sangat besar dalam pekerjaan Tuhan, tetapi tidak mungkin disebut satu per satu dalam artikel pendek ini.
Dibawah kepemimpinan para pemimpin di atas, secara fisik GKPS sudah bertumbuh pesat. Kini kita bisa menyaksikan lebih dari 210 ribu jemaat tersebar di lebih dari 600 jemaat, tersebar tak kurang dari 20 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia. Mewujudkan pelayanannya di tengah-tengah jemaat dan masyarakat luas, GKPS didukung lembaga-lembaga seperti pendidikan (Badan Pendidikan GKPS), kesehatan (Badan Kesehatan GKPS) dan pengembangan masyarakat (Pelpem GKPS, Panti Karya GKPS, Panti Karya Bumi Keselamatan Margaretha GKPS) dan Women Crisis Center GKPS. Bahkan GKPS sudah mendirikan Badan Usaha GKPS dengan tujuan menciptakan pendapatan lain mendukung pelayanan yang semakin meningkat.
Merayakan 106 tahun GKPS, tentu kita tidak terlepas untuk merenungkan kembali cara-cara bertindak dalam mengambilan keputusan di masa lalu. Baik oleh para pemimpin kita serta tokoh-tokoh gereja GKPS yang mampu membawa warga pada keadaan sekarang ini. Ada pesan yang perlu disimak dari nilai-nilai yang disampaikan August Theis 2 September 1903 dan bagaimana proses ”manjae” nya GKPS 1963 sampai sekarang ini.
Pesan damai dan saling mengasihi dengan ditaburnya Injil pertama kali 2 September 1903 dan berbagai cara damai yang ditempuh para pemimpin GKPS di masa lalu, seyogianya menjadi prinsip hidup di dalam jemaat kita saat ini. Sebuah pendekatan yang berbeda dengan cara-cara ”perang”—mengandalkan otot, kekuasaan dan kekayaan. Pendekatan damai dan saling mengasihi, sebuah nilai yang harus terus dipertahakan dalam kehidupan GKPS masa kini.
Sebuah catatan penting dan kadang kita lupakan!. GKPS ”manjae” (berdiri sendiri) dari HKBP-- induknya selama enampuluh tahun, melalui proses damai. Sebuah cara khas Simalungun di bawah bimbingan Tuhan. Banyak orang memuji pendekatan ini. Tidak sedikit orang di luar GKPS hingga sekarang memuji cara terbaik yang dilakukan masyarakat GKPS dalam memelihara perdamaian. Buah dari Injil yang memberi kita sebuah kebijakan dalam mengambil keputusan.
GKPS dianugerahkan Tuhan memberikan warna kepada sekitar kita berupa kehidupan warga yang rukun dan damai. Sekaligus sebagai sebuah ”cahaya” di tengah hingar bingarnya pertikaian di sekitar kita. Tidak hanya itu, sebuah jemaat kecil yang berangota hanya 210 ribu, telah memberi andil yang walaupun ”kecil” di tengah-tengah bagsa yang berpenduduk lebih dari 230 juta ini. .
Tentu, jemaat GKPS harus mensyukuri nikmat dari Tuhan. Bahwa peran ”jemaat kecil” ini adalah nyata di tengah-tengah bangsa ini--baik secara lembaga maupun secara individu. Kita menyaksikan bagaimana anggota-anggota jemaat GKPSpun bertumbuh dalam intelektual, berperan sebagai pelaku ekonomi, aktor-aktor politik, dan pelaku dalam berbagai bidang kehidupan lainnya.
Berbagai penghargaan seperti ”Kalpataru”, serta berbagai penghargaan bangsa ini, serta kesempatan bagi beberapa anggota jemaat GKPS memimpin lembaga-lembaga penting, dan berkarya memberi yang terbaik membuktikan hal itu.
Satu hal yang perlu menjadi catatan, bahwa kita tidak boleh berhenti dan mengabaikan perubahan yang terjadi, yang akan berjalan abadi. Seorang ahli, Will Roger memperingatkan kita. "Biarpun Anda berada di jalur yang benar, Anda akan tergilas jika Anda hanya duduk di sana." Kita harus memahami perubahan secara benar, merencanakan respons terhadap perubahan dengan tepat dan menciptakan kedamaian dan terang di tengah-tengah perubahan itu sendiri.
Ke depan kita berhadapan dengan perubahan sekaligus memelihara kedamaian dan ”hahomion” di tengah-tengah jemaat, dan tengah-tengah para pemimpin dan tokoh-tokoh gereja. Memasuki era globalisasi dan informasi yang demikian pesat, tidak bisa dihindari terjadinya perubahan-perubahan yang kadang tidak mampu kita baca. Bahkan sering memunculkan perbedaan cara pandang yang mempengaruhi kehidupan jemaat GKPS. Khususnya perubahan di bidang teknologi informasi yang sedemikian pesat, yang bisa memperlebar kesenjangan pengetahuan, taraf hidup jemaat. Tidak kalah pentingnya adalah perubahan perpolitikan negara ini yang setiap pemilu bisa mengundang potensi konflik di tengah-tengah jemaat.
Memang, harus disadari, dalam proses menilai perubahan dan cara mengantisipasinya, tidak tertutup kemungkinan adanya perbedaan pandangan. Sebuah hal yang yang wajar. Perbedaan pandangan adalah akibat dari perkembangan pengetahuan masing-masing yang tidak seragam, latar belakang kehidupan yang berbeda. Tapi kita tidak boleh berhenti dalam sebuah perbedaan yang bisa menyebabkan kita berbeda visi dan missi yang benar berdasarkan Firman yang tertulis dalam Kitab Suci kita.
GKPS harus membuka ruang yang lebih lebar wadah yang bisa mengakomodasi menjadikan perbedaan sebagai sebuah kekayaan untuk menghasilkan kreativitas jemaat, dengan tetap bersandar pada prinsip kebenaran dari Firman Tuhan.Di masa lalu, selain synode-synode resort dan jemaat, kita mengenal KGM (Konferensi Gereja dan Masyarakat). Hasil-hasil KGM (Konsultasi Gereja dan Masyarakat) menjadi salah wadah yang bisa menjembatani perbedaan-perbedaan dan menjadi salah satu input yang berharga bagi penyelenggaraan Synode Bolon (bagi anggota yang mau membacanya) dalam merencanakan program, dan juga bagi resort dan jemaat. Bahkan pada 2001 KGM pernah pernah dilaksanakan sampai di tingkat Distrik. Mudah-mudahan keputusan-keputusan yang akan diambil Synode berikut bisa mengakomodasi hal ini.
Selain itu, untuk merespon perubahan, GKPS harus mampu meninggalkan cara-cara kuno dan tradisionil dalam merencanakan atau melaksanakan program-program, kita harus mampu menghilangkan hal-ha primordial yang menghambat kemajuan. Kita harus bercermin bagaimana ketika nenek moyang kita meninggalkan cara tradisional di bidang pertanian, kesehatan, memiliki pandangan yang berbeda, setelah mereka menerima Injil dan pendidikan. Pemanfaatan teknologi perbankan yang sudah sangat maju, email dan penggunaan website bagi daerah-daerah yang sudah memungkinkan harus ditingkatkan pemanfaatannya. Semua sumberdaya yang ada dioptimalkan mewujudkannya.
Memasuki usianya ke 106 tahun ini, Synode Bolon dan Majelis Gereja dapat meningkatkan kualitas hasil-hasil keputusan-keputusan dan pengawasan atas pelaksanaan keputusan-keputusan itu. Perumusan GBKU dan pelaksanaannya harus menghindari kata-kata ”siparayakon”, sebuah kata-kata kuno yang seyogianya tidak kita dengar lagi di era modern sekarang ini. Para anggota Synode bersama jajaran di Resort dan jemaatnya, harus lebih aktif mengamati perubahan dan tindakan-tindakan yang diperlukan.
Satu hal yang perlu diingat, bahawa Synode Bolon dan Sidang-sidang Majelis Gereja, harus menjadi wadah yang mampu menghasilkan keputusan yang bermanfaat bagi keagungan Tuhan, bagi penguatan iman jemaat. Seorang utusan LWF pada era 50-an mengingatkan : ”Sidang-sidang kita tidak sama dengan sidang Parlemen”.
Injil tidak hanya membuat melek mata jemaat, tetapi juga membawa perubahan makna kekuasaan dan pengembangan kepemimpinan. Injil mengajarkan kepemimpinan yang bersandar pada Yesus sebagai kepala gereja. Tidak ada seorangpun yang akan pernah menjadi ”raja” di gereja. Mereka yang memimpin adalah pelayan, menjalankan kepemimpinan rohani, kepemimpinan pelayan (servant leadership) yang sasarannya adalah kedamaian dan kesatuan jemaat.
Kita berharap, Pimpinan Pusat beserta seluruh jajarannya sampai ke jemaat, harus mampu mewujudkan hasil kerja yang meunjukkan keagungan (greatness), tidak lagi hanya soal efisisensi dan efektivitas tindakan yang menghasilkan performansi yang terlihat--uang atau prestasi fisik. Semua pekerjaan kita mampu meningkatkan kemampuan menciptakan pendekatan damai dan rasa saling mengasihi, serta meningkatkan tingkat kepedulian satu dengan yang lain. Atau dengan kata lain, mengutip Steven R Covey ”Mampu menyuarakan suarana dan memotivasi orang lain mengungkapkan suaranya”. Bukan saling meredupkan satu dengan yang lain.
Sebuah tantangan besar berada di depan kita. Missi Tuhan yang disampaikan melalui August Theis, kemudian dicanangkan dalam bentuk fundasi organisasi gereja oleh Pendeta J Wismar Saragih dan seluruh pimpinan sesudahnya, menjadi tugas kita seluruhnya lebih memahami situasi dengan benar, merencanakan dengan benar, melaksanakan dengan benar dan menikmati hasil-hasil pelayanan kita dengan benar. Tentu, semuanya dilaksanakan beradasarkan prinsip-prinsip kebenaran Firman Tuhan.
Satu hal yang membuat kita optimis ke depan adalah bahwa semua jemaat merindukan kehidupan yang rukun, kita semua menginginkan kehidupan yang damai, seperti tertulis: ”Alangkah baik dan indahnya bila sesama saudara hidup rukun, karena kesanalah Tuhan akan memberitakan berkat dan kehidupan sampai selama-lamanya. (Mazmur 133). Selamat merayakan 106 Tahun Injil di Simalungun.
Oleh: Jannerson GirsangFakta sejarah menunjukkan, bahwa banyak orang Simalungun kemudian berperan dalam meluaskan berita damai dan kesukaan itu. Mendirikan Kongsi Laita, bersaksi dari rumah ke rumah, meterjemahkan buku-buku atau Bibel ke dalam bahasa Simalungun. Bahkan untuk membiayai kegiatan mereka dibentuk Fonds Saksi Kristus. Bahkan Firman itu tidak berhenti di lokasi tertentu, tetapi menyebar ke seluruh wilayah Simalungun.
Kehadiran Injil tidak hanya membuka mata orang Simalungun tentang arti Tuhan dalam kehidupannya, tetapi juga menumbuhkan kesadaran pentingnya ilmu pengetahuan. Hal yang memberinya bekal pemahaman pengelolaan alam dan lingkungannya bagi kehidupan sehari-hari, serta pengaturan hubungannya dengan sesama manusia. Bisa kita baca berbagai literatur bagaimana pada awalnya berbagai sekolah yang berdiri dan sekaligus sebagai tempat-tempat kebaktian. .
Berita damai dan kesukaan dan pengetahuan yang mereka peroleh merubah cara pikir dan kehidupan orang Simalungun : keluar dari cara berfikir kuno, dari kehidupan ”hadatuon” menjadi hidup yang ”percaya kepada Kristus”, dari pendewaaan benda, atau manusia, berubah menjadi masyarakat yang percaya bahwa Tuhanlah yang berkuasa atas hidupnya. dari penyelesaian masalah kehidupan dengan ”perang” berubah dengan pendekatan damai, dari masyarakat buta huruf menjadi masyarakat yang tau baca, dari masyarakat kuno yang statis menjadi berfikiran modern, dinamis dan ingin terus berubah ke arah kehidupan yang lebih baik. Dari keinginan saling membenci, bahkan ”perang” sebagai sebuah solusi, berubah menjadi masyarakat yang saling mengasihi sesamanya bahkan mahluk hidup di sekitarnya.
Secara kelembagaan gereja, lima puluh tahun kemudian, telah memampukan para tokoh-tokoh Simalungun memimpin wilayah Simalungun dalam penyebaran Firman sekaligus memimpin lembaga-lembaga yang ada di bawahnya dengan cara-cara yang berlandaskan kasih dan cinta damai.
Sebuah proses yang berlangsung damai dan penuh kasih. Kemudian terbentuk sebuah Distrik pada 26 September 1940 dan HKBPS (Huria Kristen Batak Protestan Simalungun) pada 5 Oktober 1952, dibawah seorang pemimpin rohani Pendeta Pendeta. J Wismar Saragih—pendeta pertama orang Simalungun, yang menjadi Praeses/Wakil Ephorus HKBPS. Akhirnya, HKBPS manjae menjadi Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) pada 1 September 1963.
GKPS memiliki Ephorus dan mandiri, terlepas dari HKBP. Sejak itu, para pemimpin GKPS mulai dari J Wismar Saragih (1952-1960), Pdt A Wilmar Saragih (1960-1962), Pdt JP Siboro (1962-1970), Pdt Lesman Purba (1970-1972), Pdt Samuel P Dasuha (1972-1977), Pdt Armencius Munthe (1977-1990), Pdt Jansiman Damanik (1990-2000), Pdt Edison Munthe (2000-2005) dan kini Pdt Belman P. Dasuha (2005-2010). Mereka didampingi sekjen seperti Pdt Hamonangan Girsang, Pdt Sahala Girsang dan Rumanja Purba, dan pernah ada tiga sekjen yang kemudian menjadi Ephorus, yakni Pdt A.Wilmar Saragih, Pdt Lesman Purba dan Pdt Armencius Munthe. Tanpa mengabaikan nama-nama lain yang perannya juga sangat besar dalam pekerjaan Tuhan, tetapi tidak mungkin disebut satu per satu dalam artikel pendek ini.
Dibawah kepemimpinan para pemimpin di atas, secara fisik GKPS sudah bertumbuh pesat. Kini kita bisa menyaksikan lebih dari 210 ribu jemaat tersebar di lebih dari 600 jemaat, tersebar tak kurang dari 20 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia. Mewujudkan pelayanannya di tengah-tengah jemaat dan masyarakat luas, GKPS didukung lembaga-lembaga seperti pendidikan (Badan Pendidikan GKPS), kesehatan (Badan Kesehatan GKPS) dan pengembangan masyarakat (Pelpem GKPS, Panti Karya GKPS, Panti Karya Bumi Keselamatan Margaretha GKPS) dan Women Crisis Center GKPS. Bahkan GKPS sudah mendirikan Badan Usaha GKPS dengan tujuan menciptakan pendapatan lain mendukung pelayanan yang semakin meningkat.
Merayakan 106 tahun GKPS, tentu kita tidak terlepas untuk merenungkan kembali cara-cara bertindak dalam mengambilan keputusan di masa lalu. Baik oleh para pemimpin kita serta tokoh-tokoh gereja GKPS yang mampu membawa warga pada keadaan sekarang ini. Ada pesan yang perlu disimak dari nilai-nilai yang disampaikan August Theis 2 September 1903 dan bagaimana proses ”manjae” nya GKPS 1963 sampai sekarang ini.
Pesan damai dan saling mengasihi dengan ditaburnya Injil pertama kali 2 September 1903 dan berbagai cara damai yang ditempuh para pemimpin GKPS di masa lalu, seyogianya menjadi prinsip hidup di dalam jemaat kita saat ini. Sebuah pendekatan yang berbeda dengan cara-cara ”perang”—mengandalkan otot, kekuasaan dan kekayaan. Pendekatan damai dan saling mengasihi, sebuah nilai yang harus terus dipertahakan dalam kehidupan GKPS masa kini.
Sebuah catatan penting dan kadang kita lupakan!. GKPS ”manjae” (berdiri sendiri) dari HKBP-- induknya selama enampuluh tahun, melalui proses damai. Sebuah cara khas Simalungun di bawah bimbingan Tuhan. Banyak orang memuji pendekatan ini. Tidak sedikit orang di luar GKPS hingga sekarang memuji cara terbaik yang dilakukan masyarakat GKPS dalam memelihara perdamaian. Buah dari Injil yang memberi kita sebuah kebijakan dalam mengambil keputusan.
GKPS dianugerahkan Tuhan memberikan warna kepada sekitar kita berupa kehidupan warga yang rukun dan damai. Sekaligus sebagai sebuah ”cahaya” di tengah hingar bingarnya pertikaian di sekitar kita. Tidak hanya itu, sebuah jemaat kecil yang berangota hanya 210 ribu, telah memberi andil yang walaupun ”kecil” di tengah-tengah bagsa yang berpenduduk lebih dari 230 juta ini. .
Tentu, jemaat GKPS harus mensyukuri nikmat dari Tuhan. Bahwa peran ”jemaat kecil” ini adalah nyata di tengah-tengah bangsa ini--baik secara lembaga maupun secara individu. Kita menyaksikan bagaimana anggota-anggota jemaat GKPSpun bertumbuh dalam intelektual, berperan sebagai pelaku ekonomi, aktor-aktor politik, dan pelaku dalam berbagai bidang kehidupan lainnya.
Berbagai penghargaan seperti ”Kalpataru”, serta berbagai penghargaan bangsa ini, serta kesempatan bagi beberapa anggota jemaat GKPS memimpin lembaga-lembaga penting, dan berkarya memberi yang terbaik membuktikan hal itu.
Satu hal yang perlu menjadi catatan, bahwa kita tidak boleh berhenti dan mengabaikan perubahan yang terjadi, yang akan berjalan abadi. Seorang ahli, Will Roger memperingatkan kita. "Biarpun Anda berada di jalur yang benar, Anda akan tergilas jika Anda hanya duduk di sana." Kita harus memahami perubahan secara benar, merencanakan respons terhadap perubahan dengan tepat dan menciptakan kedamaian dan terang di tengah-tengah perubahan itu sendiri.
Ke depan kita berhadapan dengan perubahan sekaligus memelihara kedamaian dan ”hahomion” di tengah-tengah jemaat, dan tengah-tengah para pemimpin dan tokoh-tokoh gereja. Memasuki era globalisasi dan informasi yang demikian pesat, tidak bisa dihindari terjadinya perubahan-perubahan yang kadang tidak mampu kita baca. Bahkan sering memunculkan perbedaan cara pandang yang mempengaruhi kehidupan jemaat GKPS. Khususnya perubahan di bidang teknologi informasi yang sedemikian pesat, yang bisa memperlebar kesenjangan pengetahuan, taraf hidup jemaat. Tidak kalah pentingnya adalah perubahan perpolitikan negara ini yang setiap pemilu bisa mengundang potensi konflik di tengah-tengah jemaat.
Memang, harus disadari, dalam proses menilai perubahan dan cara mengantisipasinya, tidak tertutup kemungkinan adanya perbedaan pandangan. Sebuah hal yang yang wajar. Perbedaan pandangan adalah akibat dari perkembangan pengetahuan masing-masing yang tidak seragam, latar belakang kehidupan yang berbeda. Tapi kita tidak boleh berhenti dalam sebuah perbedaan yang bisa menyebabkan kita berbeda visi dan missi yang benar berdasarkan Firman yang tertulis dalam Kitab Suci kita.
GKPS harus membuka ruang yang lebih lebar wadah yang bisa mengakomodasi menjadikan perbedaan sebagai sebuah kekayaan untuk menghasilkan kreativitas jemaat, dengan tetap bersandar pada prinsip kebenaran dari Firman Tuhan.Di masa lalu, selain synode-synode resort dan jemaat, kita mengenal KGM (Konferensi Gereja dan Masyarakat). Hasil-hasil KGM (Konsultasi Gereja dan Masyarakat) menjadi salah wadah yang bisa menjembatani perbedaan-perbedaan dan menjadi salah satu input yang berharga bagi penyelenggaraan Synode Bolon (bagi anggota yang mau membacanya) dalam merencanakan program, dan juga bagi resort dan jemaat. Bahkan pada 2001 KGM pernah pernah dilaksanakan sampai di tingkat Distrik. Mudah-mudahan keputusan-keputusan yang akan diambil Synode berikut bisa mengakomodasi hal ini.
Selain itu, untuk merespon perubahan, GKPS harus mampu meninggalkan cara-cara kuno dan tradisionil dalam merencanakan atau melaksanakan program-program, kita harus mampu menghilangkan hal-ha primordial yang menghambat kemajuan. Kita harus bercermin bagaimana ketika nenek moyang kita meninggalkan cara tradisional di bidang pertanian, kesehatan, memiliki pandangan yang berbeda, setelah mereka menerima Injil dan pendidikan. Pemanfaatan teknologi perbankan yang sudah sangat maju, email dan penggunaan website bagi daerah-daerah yang sudah memungkinkan harus ditingkatkan pemanfaatannya. Semua sumberdaya yang ada dioptimalkan mewujudkannya.
Memasuki usianya ke 106 tahun ini, Synode Bolon dan Majelis Gereja dapat meningkatkan kualitas hasil-hasil keputusan-keputusan dan pengawasan atas pelaksanaan keputusan-keputusan itu. Perumusan GBKU dan pelaksanaannya harus menghindari kata-kata ”siparayakon”, sebuah kata-kata kuno yang seyogianya tidak kita dengar lagi di era modern sekarang ini. Para anggota Synode bersama jajaran di Resort dan jemaatnya, harus lebih aktif mengamati perubahan dan tindakan-tindakan yang diperlukan.
Satu hal yang perlu diingat, bahawa Synode Bolon dan Sidang-sidang Majelis Gereja, harus menjadi wadah yang mampu menghasilkan keputusan yang bermanfaat bagi keagungan Tuhan, bagi penguatan iman jemaat. Seorang utusan LWF pada era 50-an mengingatkan : ”Sidang-sidang kita tidak sama dengan sidang Parlemen”.
Injil tidak hanya membuat melek mata jemaat, tetapi juga membawa perubahan makna kekuasaan dan pengembangan kepemimpinan. Injil mengajarkan kepemimpinan yang bersandar pada Yesus sebagai kepala gereja. Tidak ada seorangpun yang akan pernah menjadi ”raja” di gereja. Mereka yang memimpin adalah pelayan, menjalankan kepemimpinan rohani, kepemimpinan pelayan (servant leadership) yang sasarannya adalah kedamaian dan kesatuan jemaat.
Kita berharap, Pimpinan Pusat beserta seluruh jajarannya sampai ke jemaat, harus mampu mewujudkan hasil kerja yang meunjukkan keagungan (greatness), tidak lagi hanya soal efisisensi dan efektivitas tindakan yang menghasilkan performansi yang terlihat--uang atau prestasi fisik. Semua pekerjaan kita mampu meningkatkan kemampuan menciptakan pendekatan damai dan rasa saling mengasihi, serta meningkatkan tingkat kepedulian satu dengan yang lain. Atau dengan kata lain, mengutip Steven R Covey ”Mampu menyuarakan suarana dan memotivasi orang lain mengungkapkan suaranya”. Bukan saling meredupkan satu dengan yang lain.
Sebuah tantangan besar berada di depan kita. Missi Tuhan yang disampaikan melalui August Theis, kemudian dicanangkan dalam bentuk fundasi organisasi gereja oleh Pendeta J Wismar Saragih dan seluruh pimpinan sesudahnya, menjadi tugas kita seluruhnya lebih memahami situasi dengan benar, merencanakan dengan benar, melaksanakan dengan benar dan menikmati hasil-hasil pelayanan kita dengan benar. Tentu, semuanya dilaksanakan beradasarkan prinsip-prinsip kebenaran Firman Tuhan.
Satu hal yang membuat kita optimis ke depan adalah bahwa semua jemaat merindukan kehidupan yang rukun, kita semua menginginkan kehidupan yang damai, seperti tertulis: ”Alangkah baik dan indahnya bila sesama saudara hidup rukun, karena kesanalah Tuhan akan memberitakan berkat dan kehidupan sampai selama-lamanya. (Mazmur 133). Selamat merayakan 106 Tahun Injil di Simalungun.
Helo GKPS Denpasar!. Syaloom. Jannerson Girsang, Pengantar jemaat GKPS Simalingkar, Medan